Awalnya Bantu Orangtua, Lama-lama Terjebak…
JAKARTA, KOMPAS.com —
Banyak anak usia wajib belajar yang putus sekolah karena harus bekerja. Kondisi
itu harus menjadi perhatian pemerintah karena anak usia wajib belajar mesti
menyelesaikan pendidikan SD-SMP tanpa hambatan, termasuk persoalan biaya.
Unifah
mengatakan, dari hasil studi tentang pekerja anak yang dilakukan PGRI dengan
ILO-East tahun 2008 di Provinsi Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku,
Papua, dan Papua Barat, ditemukan bahwa anak-anak usia 9-15 tahun terlibat
dengan berbagai jenis pekerjaan yang berakibat buruk terhadap kesehatan fisik,
mental-emosional, dan seksual.
“Awalnya
mereka membantu orangtua, tetapi kemudian terjebak menjadi pekerja permanen.
Mereka sering bolos sekolah dan akhirnya putus sekolah,” kata Unifah.
Karena
itu, lanjut Unifah, bagi anak-anak miskin, Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
saja belum cukup. Pemerintah dan sekolah juga mesti memikirkan pemberian
beasiswa tambahan untuk pembelian seragam dan alat tulis, serta biaya
transportasi dari rumah ke sekolah agar anak-anak usia wajib belajar tidak
terbebani dengan biaya pendidikan.
Solusi dalam menyikapi konflik diatas:
Sudah
bukan hal baru lagi ketika kita mendengar kemiskinan menjadi suatu polemik yang
selalu menghantui masyarakat ekonomi kelas bawah. Pendidikan yang seharusnya
dikenyam seluruh lapisan masyarakat, khususnya di usia anak-anak, harus
terbengkalai tak terurus begitu saja dikarenakan himpitan ekonomi yang
menyelimutinya. Seperti uraian permasalahan tercantum diatas, tak seharusnya
pula kita berhenti untuk berfikir bagaimana agar sekiranya konflik semacam itu
dapat dihindari atau paling tidak dapat diminimalisir seoptimal mungkin.
Seorang
anak seolah merasa terpaksa membantu orangtuanya dengan bekerja turut mencari
penghasilan tambahan, namun karena desakan berbagai faktor, seperti waktu, rasa
lelah seusai bekerja, tidak terfokusnya pikiran, ataupun hubungan sosial dengan
temannya, jelas secara perlahan hal tersebut akan menyebabkan si anak
mengeluarkan keputusan untuk berhenti sekolah. Sangat disayangkan memang,
ibarat melakukan pengorbanan untuk dapat meraih sepeser uang dengan cara membayarnya
dengan pendidikan, yang notabene nilai pendidikan ialah jelas jauh punya nilai
guna dikemudian hari kelak. Bahkan cukup ironi jika ada orangtua dari keluarga
ekonomi kurang mampu yang sampai beranggapan bahwa bersekolah dikatakan hanya
akan menambah pengeluaran dari pengahasilan yang telah didapatnya.
Pemerintah
pun sebagai wahana dalam memberikan pelayanan dirasa belum efektif dalam
mengayomi masyarakatnya. Program-program pemerintah yang ditujukan kepada
sekolah dasar sampai sekolah menengah, seperti Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) ataupun Dana program kompensasi pengurangan subsidi (PKPS) BBM untuk
pendidikan faktanya belum cukup untuk mensiasati permasalah ini. Karena
permasalahan akan sekolah tidak bisa berhenti hanya dengan pembayaran iuran SPP
saja, tapi juga perlu diperhatikan permasalahan lain yang cukup berpengaruh
terhadap sisi psikologis anak misalnya masalah pembelian buku pelajaran, biaya
transportasi, biaya seragam sekolah dan juga tak ketinggalan status sosial anak
dimata anak-anak yang mungkin lebih mampu yang disinyalir sebagai penyebab
munculnya rasa malas dating ke sekolah yang ujungnya ialah berhenti bersekolah.
Kini
menjadi tugas urgen bagi Pemerintah maupun orangtua untuk sekiranya dapat
berfikir mengeluarkan inisiatif demi mengatasi konflik semacam ini, orangtua
sebagai orang terdekat dengan anak sudah seharusnya berfikir jernih untuk dapat
memberikan pengarahan yang lebih tepat bagi anak-anaknya, orangtua harus
menyadari bahwa si anak haruslah diberikan haknya untuk memperoleh pendidikan,
memberikan pengarahan agar anak meyakini bahwa pendidikan merupakan bekal
penting dalam menjalani kehidupan dan orangtua pun, khususnya ayah, harus
menyadari bahwa menafkahkan keluarga itu sudah merupakan kewajibannya.
Berbicara
seorang ayah atau orangtua yang menganggur, dalam hal ini jelas perlu adanya
turun tangan pemerintah untuk memberikan perhatian penuh akan problem ini.
Pemerintah haruslah secara intensif dan gencar-gencarnya untuk terus memberikan
penyuluhan pengajaran keterampilan bagi masyarakat pengangguran, untuk kemudian
memberikan modal yang sepantasnya demi membuka lapangan pekerjaan bagi
masyarakat tak mampu. Sehingga jika memang orangtua sudah merasa cukup dengan
ekonominya, sudah barang tentu si anak akan di sekolahkan sesuai tuntutan yang
berlaku.
Bagitu
pula halnya, dengan sikap golongan-golongan masyarakat ekonomi sangat mampu,
sungguh sangat diharapkan timbulnya rasa humanisme atau kepedulian sosial
terhadap masyarakat miskin yang ada. Jujur saja sangatlah lucu ketika jurang
antara si Kaya dan si Miskin masih sangat curam, disatu sisi si Miskin yang
untuk mengenyam pendidikan dasarpun harus terhalang karena himpitan ekonomi,
sedangkan di sisi lain sebagian oknum dari pihak si Kaya masih seolah tidak
melihat masyarakat kelas bawah yang ada dihadapnnya. Lebih lanjut, memang perlu
adanya kesadaran terhadap pribadi-pribadi jiwa manusia untuk menumbuhkan rasa
keadilan. Dalam hal kehidupan beragama, Islam pun sebenarnya sangat menekankan
pengaturan distribusi ekonomi yang adil agar ketimpangan di dalam masyarakat
dapat dihilangkan. Firman Allah SWT, “… supaya harta itu jangan hanya beredar
di antara orang-orang kaya saja di antara kamu …” (QS. Al-Hasyr : 7).
Selebihnya peran pemerintah sebagai saran atau mediator dalam mengkoordinir
masyarakatnya sangatlah dibutuhkan agar sistem yang seharusnya dijalankan tidak
terdiam hanya terpaku seolah tak ada jalan keluar terhadap permasalahan yang
melanda warganya. Dan kita sebagai individu manusia sekiranya turut juga
berperan agar bisa lebih berkontribusi terhadap masyarakat kelas bawah agar
dapat hidup bersama berdampingan tanpa melupakan hak yang sudah sepantasnya
mereka peroleh.
Referensi:
·
http://edukasi.kompas.com/read/2009/06/15/09565344/Awalnya.Bantu.Orangtua..Lama.lama.Terjebak...

Komentar
Posting Komentar